Konon pada suatu
hari, Mah Bongsu yang hidup yatim-piatu, tengah sibuk mencuci pakaian putri
majikannya diatas batu sungai. Tiba-tiba menggelihatlah seekor ularsebesar
lengan. Berenang-renang sambil melengkak-lengkok. Lambat sekali gerakannya,
karena sedang menderita sakit. Tampak daging punggungnya seperti bekas
dikelar-kelar, sejak dari tengah belakang hingga ke bagian rusuknya.
“Aduh
kasihan...,” Mah Bongsu menggeleng-geleng. “Namanya saja makhluk bernyawa. Biar
seekor ular sekalipun ia tahu juga merasakan pedih-perih. Tentu ular ini patut
ku tolong.” Pikir gadis pengambil upah menumbuk padi, dan pencuci pakaian anak
orang-orang kayadi kampungnya itu.
Setelah
diperhatikan, ular itu menjulur-julurkan lidah dan menggangkat-angkat
kepalanya, maka Mah Bongsu menampung tubuh ularsakit itu dengan bakul
cuccian.kemudian, dibawa pulang ke rumah, untuk dirawat dan diobatiseperlunya
sampai sembuh.
Selama
berpekan-pekan ular luka berkelar itu diobati Mah Bongsu di pondoknya. Tubuh
itupun berangsur sembuh, dan badannya kian membesar juga. Setiap kali bertambah
besar, kulit ulaar itu mengelupas sedikit demi sedikit. Terlepas
sepengal-sepengal setiap malam, berkeping-keping.
“Syukur, akhirnya
engkau sembuh juga,” kata Mah Bongsu seraya memungut kulit ular kelupas itu, lalu
membakarnya. Asapnya mengempul-ngempul, condong kian kemari mengikuti arah
tiupan angin. Sunguh menakjubkan, bila asap itu condong ke Pulau olo ternama
sampai berkodi-kodi. Tatkala asap sarung ular itu codong ke negeri Tiongkok
maka melayang-layanglah cita-sutra Cina tersohor, masuk ke ruang rumah pondok
Mah Bongsu hinga melimpah-ruah. Condong ke India asap kulit ular yang terbakar
itu, melayang-layanglah berpuluh kodi tikar permaidani. Begitu juga emas-perak
dan uang ringgit berderung-derang bagaikan tercurah darilangit, bila asap itu
condong ke Singapura.
Dalam tempo
sebulan-dua saja, kaya-rayalah Mah Bongsu, terkenal pula sebagai seorang anak
gadis dermawan. Orang kaya sangat suka menolong orang kesusahan dalam kampung,
amat pemurah hati senang bersedekah. Karena itu tidaklah memancing iri-dengki
para tetangganya. Malahan banyak orang yang bersyukur, memuji-muji Mah Bongsu.
Namun, lain
halnya Mak Piah dan Siti Mayang anak
gadisnya. Majikan Mah Bongsu dua beranak ini merasa disaingi. Oleh karena itu,Mak
Piah suka mengintip-intip, apa sebenarnya yang membuat kaya raya bekas orang
upahannya itu.
Suatu malam, Mak
Piah mengintip-intip dari celah-celah dinding rumah pondok kediaman Mah Bongsu.
“Iiiih... ada
ular sebesar betis.” pikir Mak Piah.”O... ya, dari kulit ular bersalin yang
dibakar, mendatangkan harta-karun? Yeah, baiklah kucari juga ular sebesar itu
untuk teman tidur Siti Mayang...,” kata perempuan kaya bekas majikan Mah Bongsu
itu. Ia pun bergegas masuk ke hutan, ingin menangkap ularseperti peliharaan Mah
Bongsu juga.
“Nah, kini ular
bertuah itu kudapati juga,” pikir Mak Piah seraya menangkap seekor ular sedang
tertidur. Ular sebesar lengan itu ia masukkan ke dalam goni, lalu lekas-lekas dibawa
pulang ke rumahnya.
Seperti tidak
sabar lagi akan menjadi orang kaya untuk menandingi kekayaan Mah Bongsu, ular
yang baru ditangkap itu pun dimasukan ke kamar tidur Siti Mayang.
‘Ehm...kan? anak
gadisku pun punya ular...heh-heh... Siti Mayang akan kaya raya...ehm, kami akan
kaya-raya...,” Mak Piah tertawa-tawa sendirian, memainkan angan-angannya.
“Mak... ular
melilitku, mak...”tiba-tiba Siti Mayang merintih. “Ular memetok-metok
tubuhku... mak...dipetoknya Siti, Mak...”
‘Siti...Siti...
sakit sedikit-sedikit tahanlah...” sahut Mak Piah, sambil tersenyum-senyum. Hari
esok Siti Mayang jadi orang kaya, sedang beliau tunggu-tunggu.
Luka ditubuh ular
peliharaan Mah Bongsu pun telah sembuh. Sementara itu, Mah Bongsu pun sudah
menjadi seorang dermawam muda yang cukup terkenal.
“Cuma rumah
gedung tiang berjenjang, belum dimilikinya,” pikir ular sebesar pokok kelapa
itu. “Ehm, baiklah rumah gedung kediaman Mah Bongsu akan segera dibangun,” kata
ular peliharaan Mah Bongsu itu dalam hati.
Ketika itu, Mah
Bongsu sendiri belum mengetahui apa yang dipikirkan oleh peliharaannya itu. Malam
itu, sebagaimana lazimnya, ia menghidangkan makan malam untuk ularnya saja.
“Ssst... jangan
Mah Bongsu terkejut,” bisik ular itu seraya mendongak.” Malam ini juga antar
aku... ke sungai pertemuan...”
“Waw!” Mah Bongsu
tertegun.”Engkau pandai berkata-kata, ularku?Ayo... marilah kuantar ke sungai
tempat kita bertemu setahun yang lalu, ehm...kalau sudah begitu kehendakmu,”
kata gadis yatim-piatu yang telah menjadi dermawan muda itu seraya menuntun
ularnya keluar rumah, langsung ke sungai.
“Mah Bongsu,”
bisik ular itu setelah berada di sungai.”Budimu belum dapat kubalas dengan
setimpal. Belum seimbang...yah, aku berutang nyawa...”
“Hai...ularku,
bukankah kekayaanku sudah berlimpah, semua darimu?”
Yeak, tapi nilai
kasih sayang belum kuberikan... maaf, semoga Mah Bongsu sudi. Aku melamarmu,
untuk kujadikan istriku yang sah!” kata ular itu seraya menanggalkan seluruh
sarungnya, dan segera menjelma menjadi seorang pemuda berwajah tampan, secara
menakjubkan. Sarung ular ajaib itu pun terkembang menjadi sebuah gedung. Cukup
megah bangunannya, tertegak di halaman pondok kediaman Mah Bongsu yang konon
ketimban rezeki tersebut. Selanjutnya, tempat itu dinamai Desa Tiban asal dari
kata ketiban. Artinya kejatuhan keberuntungan, beroleh kebahagiaan.
Kata sahibulhikayat
pula, besok harinya terdengarlah suatu pesta meriah di rumah gedung yang mewah
itu. Jamuan orang sekampung merayakan hari pernikahan Mah Bongsu dengan pemuda
tampan itu, berpengiring beratus-ratus orang. Entah darimana datangnya orang
itu, tidak seorang pun tahu. Sementara keluarga Mak Piah yang tamak loba, sibuk
menerima kematian Siti Mayang secara menyedihkan. Anak gadis itu korban dipetok
ular berbisa yang diangkat ke rumah oleh Mak Piah ibunya sendiri. Karena hendak
mendapat kekayaan secara endadak.
Konon, sungai
pertemuan Mah Bongsu dengan ular sakti itu dipercayai sebagai tempat pertemuan
jodoh dan disebut “Sungai Jodoh” hingga sekarang. Banyak orang yang berbasuh
diri disatu, hendak mengikuti jejak Mah Bongsu. Mereka ingin mendapat jodoh dan
ketiban rezeki setelah pulang berendam diri ke sungai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar