Senin, 05 November 2012

DONGENG SUNGAI JODOH


Konon pada suatu hari, Mah Bongsu yang hidup yatim-piatu, tengah sibuk mencuci pakaian putri majikannya diatas batu sungai. Tiba-tiba menggelihatlah seekor ularsebesar lengan. Berenang-renang sambil melengkak-lengkok. Lambat sekali gerakannya, karena sedang menderita sakit. Tampak daging punggungnya seperti bekas dikelar-kelar, sejak dari tengah belakang hingga ke bagian rusuknya.
“Aduh kasihan...,” Mah Bongsu menggeleng-geleng. “Namanya saja makhluk bernyawa. Biar seekor ular sekalipun ia tahu juga merasakan pedih-perih. Tentu ular ini patut ku tolong.” Pikir gadis pengambil upah menumbuk padi, dan pencuci pakaian anak orang-orang kayadi kampungnya itu.
Setelah diperhatikan, ular itu menjulur-julurkan lidah dan menggangkat-angkat kepalanya, maka Mah Bongsu menampung tubuh ularsakit itu dengan bakul cuccian.kemudian, dibawa pulang ke rumah, untuk dirawat dan diobatiseperlunya sampai sembuh.
Selama berpekan-pekan ular luka berkelar itu diobati Mah Bongsu di pondoknya. Tubuh itupun berangsur sembuh, dan badannya kian membesar juga. Setiap kali bertambah besar, kulit ulaar itu mengelupas sedikit demi sedikit. Terlepas sepengal-sepengal setiap malam, berkeping-keping.
“Syukur, akhirnya engkau sembuh juga,” kata Mah Bongsu seraya memungut kulit ular kelupas itu, lalu membakarnya. Asapnya mengempul-ngempul, condong kian kemari mengikuti arah tiupan angin. Sunguh menakjubkan, bila asap itu condong ke Pulau olo ternama sampai berkodi-kodi. Tatkala asap sarung ular itu codong ke negeri Tiongkok maka melayang-layanglah cita-sutra Cina tersohor, masuk ke ruang rumah pondok Mah Bongsu hinga melimpah-ruah. Condong ke India asap kulit ular yang terbakar itu, melayang-layanglah berpuluh kodi tikar permaidani. Begitu juga emas-perak dan uang ringgit berderung-derang bagaikan tercurah darilangit, bila asap itu condong ke Singapura.
Dalam tempo sebulan-dua saja, kaya-rayalah Mah Bongsu, terkenal pula sebagai seorang anak gadis dermawan. Orang kaya sangat suka menolong orang kesusahan dalam kampung, amat pemurah hati senang bersedekah. Karena itu tidaklah memancing iri-dengki para tetangganya. Malahan banyak orang yang bersyukur, memuji-muji Mah Bongsu.
Namun, lain halnya Mak Piah  dan Siti Mayang anak gadisnya. Majikan Mah Bongsu dua beranak ini merasa disaingi. Oleh karena itu,Mak Piah suka mengintip-intip, apa sebenarnya yang membuat kaya raya bekas orang upahannya itu.
Suatu malam, Mak Piah mengintip-intip dari celah-celah dinding rumah pondok kediaman Mah Bongsu.
“Iiiih... ada ular sebesar betis.” pikir Mak Piah.”O... ya, dari kulit ular bersalin yang dibakar, mendatangkan harta-karun? Yeah, baiklah kucari juga ular sebesar itu untuk teman tidur Siti Mayang...,” kata perempuan kaya bekas majikan Mah Bongsu itu. Ia pun bergegas masuk ke hutan, ingin menangkap ularseperti peliharaan Mah Bongsu juga.
“Nah, kini ular bertuah itu kudapati juga,” pikir Mak Piah seraya menangkap seekor ular sedang tertidur. Ular sebesar lengan itu ia masukkan ke dalam goni, lalu lekas-lekas dibawa pulang ke rumahnya.
Seperti tidak sabar lagi akan menjadi orang kaya untuk menandingi kekayaan Mah Bongsu, ular yang baru ditangkap itu pun dimasukan ke kamar tidur Siti Mayang.
‘Ehm...kan? anak gadisku pun punya ular...heh-heh... Siti Mayang akan kaya raya...ehm, kami akan kaya-raya...,” Mak Piah tertawa-tawa sendirian, memainkan angan-angannya.
“Mak... ular melilitku, mak...”tiba-tiba Siti Mayang merintih. “Ular memetok-metok tubuhku... mak...dipetoknya Siti, Mak...”
‘Siti...Siti... sakit sedikit-sedikit tahanlah...” sahut Mak Piah, sambil tersenyum-senyum. Hari esok Siti Mayang jadi orang kaya, sedang beliau tunggu-tunggu.
Luka ditubuh ular peliharaan Mah Bongsu pun telah sembuh. Sementara itu, Mah Bongsu pun sudah menjadi seorang dermawam muda yang cukup terkenal.
“Cuma rumah gedung tiang berjenjang, belum dimilikinya,” pikir ular sebesar pokok kelapa itu. “Ehm, baiklah rumah gedung kediaman Mah Bongsu akan segera dibangun,” kata ular peliharaan Mah Bongsu itu dalam hati.
Ketika itu, Mah Bongsu sendiri belum mengetahui apa yang dipikirkan oleh peliharaannya itu. Malam itu, sebagaimana lazimnya, ia menghidangkan makan malam untuk ularnya saja.
“Ssst... jangan Mah Bongsu terkejut,” bisik ular itu seraya mendongak.” Malam ini juga antar aku... ke sungai pertemuan...”
“Waw!” Mah Bongsu tertegun.”Engkau pandai berkata-kata, ularku?Ayo... marilah kuantar ke sungai tempat kita bertemu setahun yang lalu, ehm...kalau sudah begitu kehendakmu,” kata gadis yatim-piatu yang telah menjadi dermawan muda itu seraya menuntun ularnya keluar rumah, langsung ke sungai.
“Mah Bongsu,” bisik ular itu setelah berada di sungai.”Budimu belum dapat kubalas dengan setimpal. Belum seimbang...yah, aku berutang nyawa...”
“Hai...ularku, bukankah kekayaanku sudah berlimpah, semua darimu?”
Yeak, tapi nilai kasih sayang belum kuberikan... maaf, semoga Mah Bongsu sudi. Aku melamarmu, untuk kujadikan istriku yang sah!” kata ular itu seraya menanggalkan seluruh sarungnya, dan segera menjelma menjadi seorang pemuda berwajah tampan, secara menakjubkan. Sarung ular ajaib itu pun terkembang menjadi sebuah gedung. Cukup megah bangunannya, tertegak di halaman pondok kediaman Mah Bongsu yang konon ketimban rezeki tersebut. Selanjutnya, tempat itu dinamai Desa Tiban asal dari kata ketiban. Artinya kejatuhan keberuntungan, beroleh kebahagiaan.
Kata sahibulhikayat pula, besok harinya terdengarlah suatu pesta meriah di rumah gedung yang mewah itu. Jamuan orang sekampung merayakan hari pernikahan Mah Bongsu dengan pemuda tampan itu, berpengiring beratus-ratus orang. Entah darimana datangnya orang itu, tidak seorang pun tahu. Sementara keluarga Mak Piah yang tamak loba, sibuk menerima kematian Siti Mayang secara menyedihkan. Anak gadis itu korban dipetok ular berbisa yang diangkat ke rumah oleh Mak Piah ibunya sendiri. Karena hendak mendapat kekayaan secara endadak.

Konon, sungai pertemuan Mah Bongsu dengan ular sakti itu dipercayai sebagai tempat pertemuan jodoh dan disebut “Sungai Jodoh” hingga sekarang. Banyak orang yang berbasuh diri disatu, hendak mengikuti jejak Mah Bongsu. Mereka ingin mendapat jodoh dan ketiban rezeki setelah pulang berendam diri ke sungai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar