Konon
beberapa abad yang Islam berlayarlah Nahkoda Alang gelar Qari Abdul Malik dari
Siantan hendak ke Pulau Pinang. Beliau sebenarnya seorang Bugis Mangkasar yang
telah lama menetap di Tarempa sebagai tukang perahu tersohor. Termasyur pula
memiliki ilmu falak perbinatangan, menjadi nakhoda perahu-dendan guntuk
melayari samudra yang luas yang terbentang dari Laut Cina Selatan hingga ke
perairan Riau dan Selat Malaka. Karena Alim, banyak ilmu agamanya, nakhoda
Alang diberi gelar Qari Abdul Malik oleh penduduk Siantan. Tetapi lidah
bugisnya masih kental, dan karan itu tidak mengherankan beliau mengucapkan
huruf mati “nun” diujung kata menjadi “nga”. Demikian sebaliknya, huruf mati
”nga” diujung kata diucap “nun”. Siantan tempat tinggalnya, disebut Siantang .
pulau Bunguran menjadi Bungurang, disusun Tebang-ladang sebaliknya Teban-ladan.
Menurut Sahibulhikayat, dalam pelayaran dari
Siantan ke Pulau Pinang itulah perahu-dendang Nahkoda Alang terpukul angin
ribut. Haluan perahu-dendang itu pun diarahkan ke Selat Riau, hampir menyentuh
ke pantai Bintan karena berkabut dipangkal malam.
“Lihat itu
bintang,” pekik Nakhoda Alang kepada taikong (juru mudi) kepercayaan sedang
memegang kemudi. “Ke kanang...nganang...,” beliau menjerit mengatasi suara
angin ribut berdesing-desing.
“Kabut...
tak kelihatan bintang. Nahkoda !” sahut taikong seraya memainkan kemudi. “Tak
kelihatan bintang Nakhoda...”
“Pulau
Bintang... awas, dendan ini pecahkena batu rakit Bintang,” jerit Nakhoda Alang
lagi”. Ke kanang...naganang... belok ke kanang...,” kata beliau pula searya
menunjuk-nunjuk ke kanan untuk menghindari batu rakit Pulau Bintan.
“Oh... ini
pulau Ngenang...” pikir taikong sambil membelokkan kemudi, mengarahkan haluan
perahu-dendang ke Ngenang itu. Pulau disebelah kanan memasuki Selat Riau itu
pun, disebut Pulau Ngenang dari asal kata ke Kanang . karena anginn
mendesing-desing, kedengarannya seperti “ngenang”, padahal maksud Nakhoda
Alang, pulau disebelah kanan pelayaran .
“ Turung
layar kita berdayun”, perintah beliau, maksudnya turunkan layar dan kita
berdayung saja. Lantas berdayunglah anak buah perahu-dendang itu, menyusur
pantai hingga masuk ke sebuah sungai. Karena air sungai cukup tenang tidak
terlambung ombak gelombang walau pun angin ribut tengah membahana. Jalan
perahu-dendang dikayuhkan itupun semakin melaju ke hulu, karena diantara arus
pasang sedang mengesak ke tepi.
Tetapi
tiba-tiba, “dreek... druk, plas...” perahu dendang terhenti, oleng sedikit, dan
air sungai pun menyebur masuk ke dalam petak ruang. “Suur...” sekejap mata saja
nyaris melimpah.
“Hei ada
apa?” pekik Nakhoda Alang sambil memanggil salah satu anak buah perahu.
”terjung ke sungai, lihat apa yang kita langgar?”
Setelah
timbul, pelaut yang menyelam itu berkata, “Kita terlanggar langkang kayu
berduri? Keras sekali”
“Ha?
Terlanggar lankan berduri ? Keras duri lankan itu?” tanya Nakhoda Alang,
maksudnya “terlanggar langkan berduri? Keras durinya?”
“Duri lankan
kayu, berteras keras, ya Tuan Qari Malik,” sahut penyelam. “keras sekali duri
lankan kayu itu!”
“Angkak...
angkak...” perintah Maulana Malik, maksudnya angkat saja. ”angkak duri angkan itu!”.
Penyelam itu
pun menolaknya, dan setelah timbul berkata kepada Nakhoda Alang yang berdiri di
pinggir perahu-dendang kenaikan mereka itu.
“tidak dapat
menolak duri angkang melekat pada batang kayu, Nakhoda!” kata penyelam itu
seraya mencuaskan air di mukanya. “banyak batang kayu berduri yang tumbang
dalam sungai ini, Nakhoda.” Jelasnya.
“O... sungai
berduri lan-kan banyak batan kayu?”
Akhirnya,
setelah peristiwa sungai banyak duri lankan kayu itu disebut Sungai Duri
Angkang, seperti pendengaran pelaut yang menyelamnya.
Singkat
ceritanya, setelah angin ribut teduh maka berangkatlah perahu-dendang Nakhoda
Alang ke Pulau Pinang tujuannya. Di bandar itulah mereka berbongkar-maut,
menjual-membeli barang dagangannya.
“Kenapa
sekali ini Qari Malikterlambat masuk ke Pulau Pinang?” Tanya saudagarlangganan
beliau. “Biasanya belum selangtiga bulan perahu-dendang Nakhoda telah masuk.”
“Kami
terpukul ribut di tengah jalang , nyaris pecah di Pulau Bintang,” kata Nakhoda
Alang alias Qari Abdul Malik orang Siantan, asal Bugis Makasar itu.”Aetelah
menganang-nganang, masuk sungai penuh deduri-duri lan-kan batan kayu.
Perahu-dendan bocor, laluselama suku bulan diperbaiki,” maksudnya “stelah
menganan masuk ke dalam sungai yang
penuh dengan duri langkang batang kayu. Perahu-dendang bocor, lalu selama
setengah bulan diperbaiki”.
“Dimana?”
tanya saudagar rekanan Nakhoda Alang lagi, karena kurang jelas. ”Di pulau mana
berhenti angin ribut itu?”
“Itu, di
pulau banyak batan kayu sebelah barat Pulau Bintang,” tutur Nakhoda Alang “Itu...
di Pulau Batan”.
Sejak itu, menyebarlah
nama pulau di sebelah barat Pulau Bintan, disebut Pulau Batan. Kata sambung
menyambung di pelabuhan dagang cukup terkenal. Pulau Pinang dalam abad ke-18
setelah dibuka oleh inggris ber nama Sir Francis Light, tahun 1786.
Kapan Pulau
Batam menurut logat Bugis Pulau Batan ini menjadi Pulau Batam? Penukaran “nun”
menjadi “mim” tulisan Arab-Melayu diujung kata “Batan” itu, sudah semakin
kabur. Tidak diketahui orang lain. Namun terasa enak diucapkan “Batam” daripada
perkataan “Batan”.
Best Online Casinos of 2021: Casinos that Accept PayPal
BalasHapusList of ⭐ Best PayPal Gambling Sites in 2021 worrione PayPal gambling is a type of gambling platform that provides both 샌즈카지노 deposits and withdrawals. choegocasino