Pada zaman dahulu, tersebutlah sebuah bandar kecil Anjang Luku di
pantai barat Pulau Bintan. Konon disitulah tempat persinggahan Laksamana Hang
Tuah, tatkala beliau berlayar dari Malaka Pulau ke Sungai Duyung Ulu Bintan,
kampung halamannya.
Menurut yang empuhnya cerita, bandar kecil Anjang Luku itu banyak
sekali ditumbuhi pokok pinang. Batang-batang
pinang itu berjejer di pinggir pantai, berseleret-leret sejak Tanjung
Buntung hingga ke muara Sungai Bintan. Paling subur tumbuhnya berumpun-rumpun,
disekitar cabang anak sungai yang menngalir dari bukit ke lembah. Tandanya di
situ memiliki sumber air. Air itupun senantiasa mengalir, tidak pernah susut
sekalipun musim kemarau.
Tidaklah mengherankan jika sesudah zaman Laksamana Hang Tuah itu
pun bandar kecil Ajang Luku masih cukup ramai disinggahi orang. Ada yang
berhenti untuk berlindung dari angin ribut yang tengah membadai, dan ada pula
pelaut yang singgah mengambil air perbekalannya.
Lain halnya dengan Sultan Ibrahim dari Malaka. Baginda
memanfaatkan bandar kecil Ajang Luku itu sebagai tempat perhimpunan para
saudagar dan pedagang antar suku bangsa. Di situlah mereka berkumpul, baik
saqudagar dari Jawa, Bugis Makasar dan Minangkabau, maupun saudagar dari Melayu
untuk bermusyawarah.
Oleh karena itu, penuh sesaklah pantai barat Pulau Bintan bagian
selatan ketika itu. Beratus-ratus buah kapal-layar besar-kecil, seta sampan
perahu beraneka ragam berlabuh di pantai Ajang Luku. Riuh-rendah siang dan
malam. Karena ramainya orang. Ada yang sibuk memasak dan ada juga yang sibuk
mengambil air minum di anak cabang Sungai Bintan. Sebagian mereka itu mencari
kayu api di bukit-bukit, memasuki hutan belukar. Para saudagar, pedagang dan
Sultan Ibrahim tengah sibuk mengadakan sidang. Permusyawaraan dilaksanakan di
kembah-kembah, sengaja didirikan di tepi pantai.
Sultan Ibrahim pun bertitah “Wahai seksalian saudagar. Kita
hendaknya sepakat, menguasai pelayaran niaga. Perdagangan di perairan Malaka
dan Selat Riau mesti berada di tangan kita”. Kata baginda lagi,”Kira jaga
keamanan di Laut Riau secara bersama-sama, bahu-membahu sesama kita”.
Anjuran Sultan Ibrahim dari Malaka itu konon, disebut dengan
“Mufakat Anjang Luku”, yakni tekad bersama untuk menguasai perdagangan di perairan
Selat Malaka hingga ke Selat Riau. Yang disebut Selat Riau itu adalah perairan
pantai barat Pulau Bintan dan lingkungan pulau-pulau Batam-Rempang-Galang atau
disingkat “Barelang”.
Konon sepanjang pelayaran dari Selat Malaka hingga ke Selat Riau
dalam abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-18 merupakan alur perdagangan
kepulauan Nusantara. Daerah itu dikuasai oleh saudagar anak wathan: Jawa,
Bugis, Minangkabau, dan Melayu sendiri. Orang Eropa pada zaman itu saja yang
mengelari mereka “Perampok Lamun”, sebab orang asing yang tergabung dalam
kompeni itu merasa cukup terhalang dan dihalang-halangi, untuk mengerut
keuntungan sebesar-besarnya.
Menurut cerita, ketika itulah para pengikut dan pengiring saudagar
yang mengadakan sidang mufakat di Ajang Luku, jika malam hari sibuk pula
memasang api unggun. Hal itu mereka lakukan untuk menerangi lingkungan
perkemahan pinggir pantai dengan menyalakan api. Cahayanya pun memancarkan
terang-benderang. Begitu juga yang dilakukan oleh para pencari kayu bakar yang
kemalaman hari di bukit-bukit. Api unggun dinyalakan sebesar-besarnya sebagai
penghalau nyamuk, sekaligus merupakan sebuah isyarat. Mereka sedang kemalaman
di hutan. Tidak sempat turun ke pantai untuk pulang ke perahu atau perkemahan.
Sementara kayu api bertimbun-timbun akan dibawa pulang.
Berpekan-pekan pula lamanya, pantai dan bukit sekitar bandar kecil
Ajang Luku itu terang-benderang setiap malam hari. Cahayanya berdendang kuning
kemerah-merahan, kelihatan dari setiap penjuru. Tampak jelas dari arah karng-karang
laut tempat para nelayan memancing dan melabuh jaring. Mereka itu pun
bertanya-tanya, terutama nelayan yang belum sempat ke Ajang Luku beberapa pekan
terakhir.
Nelayan itu bertanya kepada penjaring Cina yang bertempat tinggal
di Senggarang bersebrangan sungai dengan Ajang Luku.
“Cahaya apa itu yang terang-benderang itu, Sobat?” Tanya mereka
keheran-heranan,”Apa sobat tahu?”
“Pi-pei nang,” sahut penjaring Cina. Artinya api-api dinyalakan
orang. “Pi-pei nang lho....” kata mereka berlidah pilat tionghoa.
“Oh... Pian pi-nang...,” sahut nelayan Melayu, berarti pantai
pinang .
“Ehm... pian pi-nang,”gumam nelayan Melayu yang lain seraya
menoleh kearah cahaya api yang terang-benderang itu. Kemudian berkata
lagi,”Patutlah, disana banyak pokok pinang. Apakah ada orang membakar
pokok-pokok pinang di pian Ajang Luku?”
“Tidaklah sobat,” kata tukang penjaring Cina seraya mengumbaikan
jaringnya, “Pi-pei nang...”. maksudnya, bukan pokok pinang terbakar, tetapi api-api
unggun orang ramai. Mereka ramai sekali datang bermukim di Ajang Luku, dan suka
menyalakan unggun di malam hari.
“Oh... kalau ramai orang di Ajang Luku pi-pei nang itu... besok
pagi kita sama-sama berjual ikan di Pi-pei nang”.
“yeak, kita ke pi-pei nang...” sahut para nelayan
beramai-ramai.”Ke Pi-pei nang kita...” mereka pun bersorak-sorai. “Heh-houi...
kita ke Pi-nang...”
“Ke Pinang?” Tanya nelayan yang berpapasan jalan. “Ehm... mereka
akan ke bandar kecil yang banyak pokok pinangnya. Yeak, Ajang Luku bandar kecil
berpadar pinang!” katanya dalam hati seraya merangkuh dayung-pendayung
mengarahkan perahunya ke Pi-nang juga.
Sejak peristiwa itulah konon, para nelayan Cina menyebut bandar
kecil itu “Pi-pei nang”, yang berarti “api-api orang”. Sementara orang Melayu
menyebut “Pian-Pinang”, atau pantai pokok-pokok pinang. Karena terletak pada
sebuah tanjung maka disebut “Tanjung Pinang”.
JIKA ANDA BUTUH ANGKA GHOIB/JITU 2D.3D.4D YG DI JAMIN TEMBUS 100% DI PUTARANG SGP/HKG SILAHKAN SAJA ANDA TLP KY JAYA DI NOMOR 085321606847 TRIMAH KASIH
BalasHapus