Rabu, 07 November 2012

Aladin Dan Lampu Ajaib


Aladin adalah seorang laki-laki yang berasal dari Negara Persia. Dia tinggal berdua dengan ibunya. Mereka hidup dalam kesederhanaan. Hingga pada suatu hari ada seorang laki-laki yang datang kerumah Aladin. Laki-laki itu berkata kalau dia adalah saudara laki-laki almarhum bapaknya yang sudah lama merantau ke Negara tetangga. Aladin dan ibunya sangat senang sekali, karena ternyata mereka masih memiliki saudara.
“Malang sekali nasibmu saudaraku”, kata laki-laki itu kepada aladin dan ibunya. “Yang penting kita masih bisa makan,paman”, jawab Aladin. Karena merasa prihatin dengan keadaan saudaranya tersebut, maka laki-laki itu bermaksud untuk mengajak Aladin ke luar kota. Dengan seijin ibunya,lalu Aladin mengikuti pamannya pergi ke luar kota.

Perjalanan yang mereka tempuh sangat jauh sekali, dan pamannya tidak mengijinkan Aladin untuk beristirahat. Saat Aladin meminta pamannya untuk berhenti sejenak, pamannya langsung memarahinya. Hingga akhirnya mereka sampai di suatu tempat di tengah hutan. Aladin lalu diperintahkan pamannya untuk mencari kayu bakar. “Nanti ya paman, Aladin mau istirahat dulu”, kata Aladin. Pamannya sangat marah setelah mendengar jawaban Aladin tersebut. “Berangkatlah sekarang, atau kusihir engkau menjadi katak”, teriak pamannya. Melihat pamannya sangat marah,lalu Aladin bergegas berangkat mencari kayu.

Setelah mendapatkan kayu, pamannya lalu membuat api dan mengucapkan mantera. Aladin sangat terkejut sekali, karena setelah pamannya membacakan mantera, tiba-tiba tanah menjadi retak dan membentuk lubang. Aladin mulai bertanya pada dirinya sendiri, “Apakah dia benar pamanku? Atau dia hanya seorang penyihir yang ingin memanfaatkan aku saja?”

“Aladin, turunlah kamu kelubang itu. Ambilkan aku lampu antic di dasar gua itu”, suruh pamannya. “AKu takut paman”, kata Aladin. Pamannya lalu memberikan cincin kepada Aladin. “Pakailah ini, cincin ini akan melindungimu”, kata pamannya. Kemudian Aladin mulai turun kebawah.

Setelah sampai di bawah, Aladin sangat takjub dengan apa yang dia lihat. Di dasar gua tersebut Aladin menemukan pohon yang berbuahkan permata dan banyak sekali perhiasan. “Cepat kau bawa lampu antiknya padaku, Aladin. Jangan perdulikan yang lain”, teriak pamannya dari atas. Aladin lalu mengambil lampu antik itu, dan mulaimemanjat ke atas. Tetapi setelah hamper sampai di atas, Aladin melihat pintu gua sudah tertutup dan hanya terbuka sedikit. Aladin mulai berpikir kalau pamannya akan menjebaknya. “Cepat Aladin, lemparkan saja lampunya”, teriak pamannya. “Tidak, aku tidak akan memberikanlampu ini, sebelum aku sampai di atas”,jawab Aladin.



Setelah berdebat, paman Aladin menjadi tidak sabar dan akhirnya "Brak!" pintu lubang ditutup, dan pamannya meninggalkan Aladin terkurung di dalam lubang bawah tanah. Aladin menjadi sedih, dan duduk termenung. Kini dia tau kalau sebenarnya laki-laki tersebut bukanlah pamannya, dan dia hanya diperalat oleh laki-laki itu. Aladin lalubmencari segala cara supaya dapat keluar dari gua,                               tetapi usahanya selalu sia-sia. "Aku sangat lapar, dan ingin bertemu ibuku, ya Tuhan, tolonglah hambamu ini !", ucap Aladin. Lampu AladinSambil berdoa, Aladin mengusap-usap lampu antik dan berpikir kenapa laki-laki penyihir itu ingin sekali memiliki lampu itu. Setelah digosok-gosok, tiba-tiba di sekelilingnya menjadi merah dan asap membumbung. Bersamaan dengan itu muncul seorang raksasa. Aladin sangat ketakutan. "Maafkan saya, karena telah mengagetkan Tuan", saya adalah Jin penunggu lampu. Apa perintah tuan padaku?”, kata raksasa "Oh, kalau begitu bawalah aku pulang kerumah." "Baik Tuan, naiklah kepunggungku, kita akan segera pergi dari sini", kata Jin lampu. Dalam waktu singkat, Aladin sudah sampai di depan rumahnya. "Kalau tuan memerlukan saya, panggillah saya dengan menggosok lampu itu".
Aladin menceritakan semua hal yang di alaminya kepada ibunya. "Mengapa penyihir itu menginginkan lampu kotor ini ya ?", kata Ibu Aladin. “Ini adalah lampu ajaib Bu!”, jawab Aladin. Karena ibunya tidak percaya, maka Aladin lalu menggosok lampu itu. Dan setelah Jin lampu keluar, Aladin meminta untuk disiapkan makanan yang enak-enak. Taklama kemudian ibunya terkejur,karena hidangan yang sangat lezat sudah tersedia di depan mata.

Demikian hari, bulan, tahunpun berganti, Aladin hidup bahagia dengan ibunya. Aladin sekarang sudah menjadi seorang pemuda. Suatu hari lewat seorang Putri Raja di depan rumahnya. Ia sangat terpesona dan merasa jatuh cinta kepada Putri Cantik itu. Aladin lalu menceritakan keinginannya kepada ibunya untuk memperistri putri raja. "Tenang Aladin, Ibu akan mengusahakannya". Ibu pergi ke istana raja dengan membawa permata-permata kepunyaan Aladin. "Baginda, ini adalah hadiah untuk Baginda dari anak laki-lakiku." Raja amat senang. "Wah..., anakmu pasti seorang pangeran yang tampan, besok aku akan datang ke Istana kalian dengan membawa serta putriku". Setelah tiba di rumah Ibu segera menggosok lampu dan meminta Jin lampu untuk membawakan sebuah istana. Aladin dan ibunya menunggu di atas bukit. Tak lama kemudian jin lampu datang dengan Istana megah di punggungnya. "Tuan, ini Istananya". Esok hari sang Raja dan putrinya datang berkunjung ke Istana Aladin yang sangat megah. "Maukah engkau menjadikan anakku sebagai istrimu ?", Tanya sang Raja. Aladin sangat gembira mendengarnya. Lalu mereka berdua melaksanakan pesta pernikahan.

Tidak disangka, ternyata si penyihir ternyata melihat semua kejadian itu melalui bola kristalnya. Ia lalu pergi ke tempat Aladin dan pura-pura menjadi seorang penjual lampu di depan Istana Aladin. Ia berteriak-teriak, "tukarkan lampu lama anda dengan lampu baru !". Sang permaisuri yang melihat lampu ajaib Aladin yang usang segera keluar dan menukarkannya dengan lampu baru. Segera si penyihir menggosok lampu itu dan memerintahkan jin lampu memboyong istana beserta isinya dan istri Aladin ke rumahnya.

Ketika Aladin pulang dari berkeliling, ia sangat terkejut karena istananya hilang. Aladin lalu teringat dengan cincin pemberian laki-laki penyihir. Digosoknya cincin tersebut, dan keluarlah Jin cincin. Aladin bertanya kepada Jin cincin tentang apa yang sudah terjadi dengan istananya. Jin Cincin kemudian menceritakan semuanya kepada Aladin. "Kalau begitu tolong bawakan istana dan istriku kembali lagi kepadaku”, seru Aladin. "Maaf Tuan, kekuatan saya tidaklah sebesar Jin lampu," kata Jin cincin. "Kalau begitu, Tolong Antarkan aku ke tempat penyihir itu. Aku akan ambil sendiri", seru Aladin. Sesampainya di Istana, Aladin menyelinap masuk mencari kamar tempat sang Putri dikurung. Putri lalu bilang kalau penyihir itu sedang tidur karena kebanyakan minum Bir. Setelah mengetahui kalau penyihir itu tidur, maka Aladin menyelinap ke dalam kamar laki-laki penyihir tersebut.

Setelah berhasil masuk dalam kamar, Aladin lalu mengambil lampu ajaibnya yang penyihir dan segera menggosoknya. "Singkirkan penjahat ini", seru Aladin kepada Jin lampu. Penyihir terbangun, lalu menyerang Aladin. Tetapi Jin lampu langsung membanting penyihir itu dan melemparkan ke luar istana. "Terima kasih Jin lampu, bawalah kami dan Istana ini kembali ke tempatnya semula". Sesampainya di Persia Aladin hidup bahagia. Ia mempergunakan sihir dari peri lampu untuk membantu orang-orang miskin dan kesusahan.

Senin, 05 November 2012

ASAL USUL PULAU BINTAN


Menurut Sahibulhikayat, sebelum bernama Bintan pulau ini disebut Pulau Putih. Sesudah itu, ada orang tua-tua mengatakan bahwa asal mula Pulau Bintan itu dari kata bentan. Berarti kembali sakit yang diderita terdahulu, karena tersalah makan. Ada pula orang tua-tua lain mengatakan, bahwa asal Bintan berasal dari kata lebai atau orang alim yang terdampar di Pulau Putih itu.

Namun kata “berintan” dari sebutan “gunung berintan”, atau gunung yang memiliki intan-permata, lebih banyak diceritakan orang.

Alkisah, terkenallah cantik-rupawannya putri Lencana Muda di Pulau Putih. Tidak heran pinangan datang dari anak raja-raja negeri tetangga, seperti putra raja Pagaruyung dan anak raja Lingga bernama Alam Syah. Mereka mengirimkan utusannya untuk melamar Putri Lencana Muda yang jelita itu.

Raja Johan Syah menunjuk Panglima Bongkok Lela Bangsawan gelar Sri Guman, untuk menyambut para utusan Raja Pagaruyung dan Raja Lingga yang datang meminang putri baginda disaat itu. Konon, utusan Raja Lingga bernama Tun Raja gelar Sri Gumaya, orangnya kasar, pemberang, dan gagah-berani. Karena dipandang pogah, kurang sopan santun, maka lamaran Alam Syah Raja Lingga yang disampaikan oleh Sri Gumayang ditampik. Sebaliknya, pinangan anak Raja Pagaruyung akan berpermaisuri Putri Lencana Muda itu diterima dengan baik dan direstui Baginda Johan Syah raja di pulau Putih.

“Hai. Bedebah!” gertak Sri Gumayadengan murkanya,”berani sungguh orang kaya menampik pinangan raja kami. Ehm... laknat. Kalian rasai balasan dari kami, raja Kuasa di Lingga”
“Ikan bawal, si ikan pari.” Sahut Panglima Bongkok Lela Bangsawan dalam seloka,”Disitu menjual, tetap kami beli”. Tegas Sri Guman.

Kemurkaan Sri Gumaya pun memuncak. Utusan Alam Syah raja Lingga itu pun mengamuk, dan terjadilah huru-hara di Pulau Putih. Dalam kecamuk perang tanding, gagah beradu kederad (kekuatan) ilmu dalam. kebal  beradu perkatahan pasha. Umpamakan singa lapar bertarung dengan buaya terlepas mangsa, begitulah dahsyatnya perang-tarung Panglima Bongkok Lela Bangsawan melawan Tun Jaya gelar Sri Gumaya itu.

“Rasailah kalian” petik Sri Gumaya seraya mengangkat tampin, karung sagu, perangkat pinanganyang dibawanya. Dan dengan secepat kilat, tampan sagu itu dihempaskan ke gunung Putih dihadapannya.

“Buuur... dum!” Alam Pulau Putih menggelegar, cahaya kuning kemerah-merahan pun memancar-mancar.”Biaaar!” kema membela bumi, sinar pun menyala terang . setelah padam sinar putih keperak-perakan,”Blas!” gemerlapan di lingkungan itu.




Panglima Bongkok pun mengeluarkan ilmu saktinya, dengan berdiri kaki tunggal seraya  menjuruskan pancung-laksemaya ditangan menyilang ke arah Pulau Lingga,”Blas, dum-dum!”bergema dahsyat disana, dan alih-alih (tiba-tiba) dalam sekejap mata Gunung Daik di  Pulau Lingga yang bercabang tiga patah satu puncaknya terguling melewati istana, lalu tercebur ke dalam laut.
“Buuur ...“ hilah puncak gunung, Singa menangis kebanggan Alam Syah Raja Lingga.
Sementara gunung-gunung perbukitan dikaki Gunung Putih cahaya gemerlapan terus memancar-mancar,”Blas... blas...” putih berkilau-kilau, seumpama bintang kezhora terbit pagi hari. Cahaya intan masih tersembunyi.
Konon pula beberapa abad kemudian, tatkala Gunung Daik dahulu bercabang tiga patah satu tinggal dua. Gunung putih lekak melekuk ditengah, sepihan tanahnya menjadi Gunung Demit terletak di kaki gunung-genangnya. Dikala itulah berdatangan saudagar Arab, India, dan Jawa. Mereka membeli kulit kayu tengah, dan buah pinang yang merupakan hasil penduduk Bukit Batu di lereng Gunung Bukit Piatu bersebelahan Gunung Demit.
“Masya Allah, Intan! Ada Intan !” kata saudagar Arab seraya menunjuk-nunjuk ke dalam karung-goni buah pinang yang dibelinya,”Ada intan disini,” katanya dengan girang.
“Intan?” saudagar-saudagar yang lain bertanya serentak,”Ada intan di pulau ini? Begitu banyaknya intan itu, hingga masuk kedalam karung-goni buah pinang?” Mereka bertanya kesana-sini.
“Mungkin... mungkin...” anak cucu Panglima Bongkok Lela Bangsawan  keturunan Sri Gumam mengingat-ingat.”Ya, mungkin sekali intan itulah yang berahaya gemerlapan. Sinar kemilau, sejak hempasan tampin sagu zaman Tuk Keripun.
Tampin sagu Sri Gumaya utusan Raja Lingga, jadi segunung berintan?”
Gunung-genang Pulau Putih di darat Perigi Tujuh Bukit Tajas itupun dirambah dandigali, mereka mendulang intan.
“Segunung berintan, di Pulau Intan!”
“Ya, Pulau Intan!” penduduk di lingkungan Pulau Putih bersorak-sorai,”Pulau Putih menjadi Pulau Intan!” kata mereka.
“Pulau berintan,” saudagar-saudagar Arab, India, dan Jawa ikut bersuara bersama-sama penduduk setempat.
“Pulau Be-intan... bein-tan ! Bentan... Bintan! Lidah Melayu penduduk setempat mengucapnya,”Beintan”.
“Bentan... Bintan,” berarti ber-intan, pulau berisi intan yang akhirnya disebut “Bintan” asal “Ber-intan” atau “Bentan” dengan cahaya memanca rgemerlapan.

ASAL USUL PULAU BINTAN


Menurut Sahibulhikayat, sebelum bernama Bintan pulau ini disebut Pulau Putih. Sesudah itu, ada orang tua-tua mengatakan bahwa asal mula Pulau Bintan itu dari kata bentan. Berarti kembali sakit yang diderita terdahulu, karena tersalah makan. Ada pula orang tua-tua lain mengatakan, bahwa asal Bintan berasal dari kata lebai atau orang alim yang terdampar di Pulau Putih itu.

Namun kata “berintan” dari sebutan “gunung berintan”, atau gunung yang memiliki intan-permata, lebih banyak diceritakan orang.

Alkisah, terkenallah cantik-rupawannya putri Lencana Muda di Pulau Putih. Tidak heran pinangan datang dari anak raja-raja negeri tetangga, seperti putra raja Pagaruyung dan anak raja Lingga bernama Alam Syah. Mereka mengirimkan utusannya untuk melamar Putri Lencana Muda yang jelita itu.

Raja Johan Syah menunjuk Panglima Bongkok Lela Bangsawan gelar Sri Guman, untuk menyambut para utusan Raja Pagaruyung dan Raja Lingga yang datang meminang putri baginda disaat itu. Konon, utusan Raja Lingga bernama Tun Raja gelar Sri Gumaya, orangnya kasar, pemberang, dan gagah-berani. Karena dipandang pogah, kurang sopan santun, maka lamaran Alam Syah Raja Lingga yang disampaikan oleh Sri Gumayang ditampik. Sebaliknya, pinangan anak Raja Pagaruyung akan berpermaisuri Putri Lencana Muda itu diterima dengan baik dan direstui Baginda Johan Syah raja di pulau Putih.

“Hai. Bedebah!” gertak Sri Gumayadengan murkanya,”berani sungguh orang kaya menampik pinangan raja kami. Ehm... laknat. Kalian rasai balasan dari kami, raja Kuasa di Lingga”
“Ikan bawal, si ikan pari.” Sahut Panglima Bongkok Lela Bangsawan dalam seloka,”Disitu menjual, tetap kami beli”. Tegas Sri Guman.

Kemurkaan Sri Gumaya pun memuncak. Utusan Alam Syah raja Lingga itu pun mengamuk, dan terjadilah huru-hara di Pulau Putih. Dalam kecamuk perang tanding, gagah beradu kederad (kekuatan) ilmu dalam. kebal  beradu perkatahan pasha. Umpamakan singa lapar bertarung dengan buaya terlepas mangsa, begitulah dahsyatnya perang-tarung Panglima Bongkok Lela Bangsawan melawan Tun Jaya gelar Sri Gumaya itu.

“Rasailah kalian” petik Sri Gumaya seraya mengangkat tampin, karung sagu, perangkat pinanganyang dibawanya. Dan dengan secepat kilat, tampan sagu itu dihempaskan ke gunung Putih dihadapannya.

“Buuur... dum!” Alam Pulau Putih menggelegar, cahaya kuning kemerah-merahan pun memancar-mancar.”Biaaar!” kema membela bumi, sinar pun menyala terang . setelah padam sinar putih keperak-perakan,”Blas!” gemerlapan di lingkungan itu.




Panglima Bongkok pun mengeluarkan ilmu saktinya, dengan berdiri kaki tunggal seraya  menjuruskan pancung-laksemaya ditangan menyilang ke arah Pulau Lingga,”Blas, dum-dum!”bergema dahsyat disana, dan alih-alih (tiba-tiba) dalam sekejap mata Gunung Daik di  Pulau Lingga yang bercabang tiga patah satu puncaknya terguling melewati istana, lalu tercebur ke dalam laut.
“Buuur ...“ hilah puncak gunung, Singa menangis kebanggan Alam Syah Raja Lingga.
Sementara gunung-gunung perbukitan dikaki Gunung Putih cahaya gemerlapan terus memancar-mancar,”Blas... blas...” putih berkilau-kilau, seumpama bintang kezhora terbit pagi hari. Cahaya intan masih tersembunyi.
Konon pula beberapa abad kemudian, tatkala Gunung Daik dahulu bercabang tiga patah satu tinggal dua. Gunung putih lekak melekuk ditengah, sepihan tanahnya menjadi Gunung Demit terletak di kaki gunung-genangnya. Dikala itulah berdatangan saudagar Arab, India, dan Jawa. Mereka membeli kulit kayu tengah, dan buah pinang yang merupakan hasil penduduk Bukit Batu di lereng Gunung Bukit Piatu bersebelahan Gunung Demit.
“Masya Allah, Intan! Ada Intan !” kata saudagar Arab seraya menunjuk-nunjuk ke dalam karung-goni buah pinang yang dibelinya,”Ada intan disini,” katanya dengan girang.
“Intan?” saudagar-saudagar yang lain bertanya serentak,”Ada intan di pulau ini? Begitu banyaknya intan itu, hingga masuk kedalam karung-goni buah pinang?” Mereka bertanya kesana-sini.
“Mungkin... mungkin...” anak cucu Panglima Bongkok Lela Bangsawan  keturunan Sri Gumam mengingat-ingat.”Ya, mungkin sekali intan itulah yang berahaya gemerlapan. Sinar kemilau, sejak hempasan tampin sagu zaman Tuk Keripun.
Tampin sagu Sri Gumaya utusan Raja Lingga, jadi segunung berintan?”
Gunung-genang Pulau Putih di darat Perigi Tujuh Bukit Tajas itupun dirambah dandigali, mereka mendulang intan.
“Segunung berintan, di Pulau Intan!”
“Ya, Pulau Intan!” penduduk di lingkungan Pulau Putih bersorak-sorai,”Pulau Putih menjadi Pulau Intan!” kata mereka.
“Pulau berintan,” saudagar-saudagar Arab, India, dan Jawa ikut bersuara bersama-sama penduduk setempat.
“Pulau Be-intan... bein-tan ! Bentan... Bintan! Lidah Melayu penduduk setempat mengucapnya,”Beintan”.
“Bentan... Bintan,” berarti ber-intan, pulau berisi intan yang akhirnya disebut “Bintan” asal “Ber-intan” atau “Bentan” dengan cahaya memanca rgemerlapan.

ASAL USUL PULAU BATAM DAN DURI ANGKANG


Konon beberapa abad yang Islam berlayarlah Nahkoda Alang gelar Qari Abdul Malik dari Siantan hendak ke Pulau Pinang. Beliau sebenarnya seorang Bugis Mangkasar yang telah lama menetap di Tarempa sebagai tukang perahu tersohor. Termasyur pula memiliki ilmu falak perbinatangan, menjadi nakhoda perahu-dendan guntuk melayari samudra yang luas yang terbentang dari Laut Cina Selatan hingga ke perairan Riau dan Selat Malaka. Karena Alim, banyak ilmu agamanya, nakhoda Alang diberi gelar Qari Abdul Malik oleh penduduk Siantan. Tetapi lidah bugisnya masih kental, dan karan itu tidak mengherankan beliau mengucapkan huruf mati “nun” diujung kata menjadi “nga”. Demikian sebaliknya, huruf mati ”nga” diujung kata diucap “nun”. Siantan tempat tinggalnya, disebut Siantang . pulau Bunguran menjadi Bungurang, disusun Tebang-ladang sebaliknya Teban-ladan.
Menurut Sahibulhikayat, dalam pelayaran dari Siantan ke Pulau Pinang itulah perahu-dendang Nahkoda Alang terpukul angin ribut. Haluan perahu-dendang itu pun diarahkan ke Selat Riau, hampir menyentuh ke pantai Bintan karena berkabut dipangkal malam.
“Lihat itu bintang,” pekik Nakhoda Alang kepada taikong (juru mudi) kepercayaan sedang memegang kemudi. “Ke kanang...nganang...,” beliau menjerit mengatasi suara angin ribut berdesing-desing.
“Kabut... tak kelihatan bintang. Nahkoda !” sahut taikong seraya memainkan kemudi. “Tak kelihatan bintang Nakhoda...”
“Pulau Bintang... awas, dendan ini pecahkena batu rakit Bintang,” jerit Nakhoda Alang lagi”. Ke kanang...naganang... belok ke kanang...,” kata beliau pula searya menunjuk-nunjuk ke kanan untuk menghindari batu rakit Pulau Bintan.
“Oh... ini pulau Ngenang...” pikir taikong sambil membelokkan kemudi, mengarahkan haluan perahu-dendang ke Ngenang itu. Pulau disebelah kanan memasuki Selat Riau itu pun, disebut Pulau Ngenang dari asal kata ke Kanang . karena anginn mendesing-desing, kedengarannya seperti “ngenang”, padahal maksud Nakhoda Alang, pulau disebelah kanan pelayaran .
“ Turung layar kita berdayun”, perintah beliau, maksudnya turunkan layar dan kita berdayung saja. Lantas berdayunglah anak buah perahu-dendang itu, menyusur pantai hingga masuk ke sebuah sungai. Karena air sungai cukup tenang tidak terlambung ombak gelombang walau pun angin ribut tengah membahana. Jalan perahu-dendang dikayuhkan itupun semakin melaju ke hulu, karena diantara arus pasang sedang mengesak ke tepi.
Tetapi tiba-tiba, “dreek... druk, plas...” perahu dendang terhenti, oleng sedikit, dan air sungai pun menyebur masuk ke dalam petak ruang. “Suur...” sekejap mata saja nyaris melimpah.

“Hei ada apa?” pekik Nakhoda Alang sambil memanggil salah satu anak buah perahu. ”terjung ke sungai, lihat apa yang kita langgar?”
Setelah timbul, pelaut yang menyelam itu berkata, “Kita terlanggar langkang kayu berduri? Keras sekali”
“Ha? Terlanggar lankan berduri ? Keras duri lankan itu?” tanya Nakhoda Alang, maksudnya “terlanggar langkan berduri? Keras durinya?”
“Duri lankan kayu, berteras keras, ya Tuan Qari Malik,” sahut penyelam. “keras sekali duri lankan kayu itu!”
“Angkak... angkak...” perintah Maulana Malik, maksudnya angkat saja. ”angkak  duri angkan itu!”.
Penyelam itu pun menolaknya, dan setelah timbul berkata kepada Nakhoda Alang yang berdiri di pinggir perahu-dendang kenaikan mereka itu.
“tidak dapat menolak duri angkang melekat pada batang kayu, Nakhoda!” kata penyelam itu seraya mencuaskan air di mukanya. “banyak batang kayu berduri yang tumbang dalam sungai ini, Nakhoda.” Jelasnya.
“O... sungai berduri lan-kan banyak batan kayu?”
Akhirnya, setelah peristiwa sungai banyak duri lankan kayu itu disebut Sungai Duri Angkang, seperti pendengaran pelaut yang menyelamnya.
Singkat ceritanya, setelah angin ribut teduh maka berangkatlah perahu-dendang Nakhoda Alang ke Pulau Pinang tujuannya. Di bandar itulah mereka berbongkar-maut, menjual-membeli barang dagangannya.
“Kenapa sekali ini Qari Malikterlambat masuk ke Pulau Pinang?” Tanya saudagarlangganan beliau. “Biasanya belum selangtiga bulan perahu-dendang Nakhoda telah masuk.”
“Kami terpukul ribut di tengah jalang , nyaris pecah di Pulau Bintang,” kata Nakhoda Alang alias Qari Abdul Malik orang Siantan, asal Bugis Makasar itu.”Aetelah menganang-nganang, masuk sungai penuh deduri-duri lan-kan batan kayu. Perahu-dendan bocor, laluselama suku bulan diperbaiki,” maksudnya “stelah menganan  masuk ke dalam sungai yang penuh dengan duri langkang batang kayu. Perahu-dendang bocor, lalu selama setengah bulan diperbaiki”.
“Dimana?” tanya saudagar rekanan Nakhoda Alang lagi, karena kurang jelas. ”Di pulau mana berhenti angin ribut itu?”
“Itu, di pulau banyak batan kayu sebelah barat Pulau Bintang,” tutur Nakhoda Alang “Itu... di Pulau Batan”.

Sejak itu, menyebarlah nama pulau di sebelah barat Pulau Bintan, disebut Pulau Batan. Kata sambung menyambung di pelabuhan dagang cukup terkenal. Pulau Pinang dalam abad ke-18 setelah dibuka oleh inggris ber nama Sir Francis Light, tahun 1786.
Kapan Pulau Batam menurut logat Bugis Pulau Batan ini menjadi Pulau Batam? Penukaran “nun” menjadi “mim” tulisan Arab-Melayu diujung kata “Batan” itu, sudah semakin kabur. Tidak diketahui orang lain. Namun terasa enak diucapkan “Batam” daripada perkataan “Batan”.